Beranda | Artikel
Apakah Jeddah miqot bagi jamaah haji/umroh Indonesia?
Jumat, 4 Agustus 2017

Pembahasan ini termasuk pembahasan yang sangat urgen bagi jamaah haji/umroh Indonesia, karena jika ternyata Jeddah bukanlah miqot bagi mereka maka berihrom di Jeddah adalah suatu pelanggaran, meskipun haji/umroh mereka tetap sah, akan tetapi mereka telah melanggar dan harus membayar dam.

Kalau kita lihat posisi kota Mekkah sebagaimana kita lihat di gambar peta, disana ada titik-titik miqat.

 

 

 

Titik-titik miqat tersebut adalah :

1 Dzulhulaifah

Dzulhulaifah terletak disebelah utara kota Mekkah, merupakan miqat terjauh, Dzulhulaifah ini lebih di kenal dengan nama Bir ‘Ali. Bir ‘Ali letaknya di kota Madīnah, jarak antara Mekkah dan Bir ‘Ali kira-kira 450 Km. Dzulhulaifah adalah miqatnya penduduk Madīnah.

2 Al- Juhfah

Al-Juhfah adalah miqatnya penduduk Syām, jarak Al-Juhfah sampai kota Mekkah kurang lebih sekitar 157 Km. Akan tetapi sekarang orang-orang mengambil miqot dari Rabigh yang posisinya sedikit sebelum Al-Juhfah, dan para ulama sepakat bahwa barang siapa yang berihram sebelum miqot maka ihramnya sah. Hal ini dikarenakan al-Juhfah sekarang adalah lokasi yang rusak dan tidak dihuni. Dahulu kota Madinah adalah kota wabah demam, namun Nabi berdoa kepada Allah agar memindahkan wabah tersebut ke al-Juhfah. Beliau berdoa :

اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا المَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي مُدِّنَا، وَصَحِّحْهَا لَنَا، وَانْقُلْ حُمَّاهَا إِلَى الجُحْفَةِ

“Ya Allah, jadikanlah kami cinta kepada kota Madinah sebagaimana cinta kami kepada kota Mekah atau lebih lagi. Ya Allah berkahilah shoo’ dan mudd kami (yaitu alat-alat takaran di kota Madinah-pen), jadikanlah kota Madinah tempat yang sehat bagi kami, dan pindahkanlah demamnya ke al-Juhfah” (HR Al-Bukhari No. 1889 dan Muslim No. 1376)

Akhirnya al-Juhfah sejak saat itu tidak lagi menjadi tempat hunian, bahkan al-Imam An-Nawawi berkata :

فَإِنَّ الْجُحْفَةَ مِنْ يَوْمِئِذٍ مُجْتَنَبَةٌ وَلَا يَشْرَبُ أَحَدٌ مِنْ مائها إِلاَّحُمَّ

“Sesungguhnya al-Juhfah sejak saat itu dijauhi, dan tidak seorangpun yang minum dari air nya kecuali demam” (Al-Minhaaj Syarh Shahih Muslim 9/150)

3 Yalamlam

Dibawah Al-Juhfah yaitu di sebelah selatan kota Mekkah ada miqat Yalamlam. Yalamlam adalah miqat bagi penduduk negeri Yaman, jarak Yalamlam ke Mekkah kira-kira 130 Km.

4 Qorn Al-Manazil (as-Sail al-Kabiir)

Qorn Al-Manazil terletak timur kota Mekkah. Qarn Al-Manazil adalah miqat bagi penduduk Najed. Jarak antara Qarn Al-Manazil dengan kota Mekkah kira-kira 80-90 Km. Inilah miqot terdekat yang jaraknya sekitar 2 marhalah.

5 Dzatu ‘Irq

Dzatu ‘Irq adalah miqatnya bagi penduduk Iraq.

Para ulamā khilaf tentang miqat Dzatu ‘Irq ini. Apakah miqat Dzatu ‘Irq ditetapkan oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam ataukah merupakan ijtihad ‘Umar radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu, karena di zaman ‘Umar datang penduduk Iraq, mereka ingin melaksanakan haji atau umrah.

Jika mereka (penduduk Iraq) harus berputar ke arah Qarn al-Manazil terlalu jauh, sehingga ‘Umar pun membuat miqat bagi mereka yang sejajar dengan Qarn al-Manazil dan menetapkan Dzatu ‘Irq yang jaraknya kira-kira sama sejajar dengan Qarn al-Manazil sebagai miqat mereka. Yaitu jarak antara Qarn al-Manazil ke Mekkah sama dengan jarak Dzatu ‘Irq ke Mekkah. Perlu diingat : Umar menentukan Dzaatu ‘Irq sebagai miqot penduduk ‘Iraq bukan karena jarak Dzatu ‘Irq adalah 2 marhalah (sekitar 80 km) akan tetapi karena Dzatu ‘Irq sejajar dengan Qorn al-Manazil.            

Dalam sebagian hadīts disebutkan Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam yang menentukan Dzatu ‘Irq, sebagian ulamā menjama’ bahwasanya Nabi Shallallāhu ‘alayhi wa sallam pernah menentukan Dzatu ‘Irq namun ‘Umar tidak mengetahuinya.

Kemudian tatkala datang penduduk Iraq yang ingin bermiqat dari tempat selain dari Qarn Al-Manazil (karena kalau dari Qorn al-Manazil terlalu jauh, mereka harus berputar) maka ‘Umar pun menentukan bagi mereka Dzatu ‘Irq. Dan ternyata ijtihad ‘Umar sesuai dengan hadīts Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.

 

Kalau kita perhatikan, Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:

هُنَّ لَهُنَّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ ، مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ

“Tempat-tempat miqot tersebut adalah bagi penduduk-penduduk negeri tersebut dan demikian pula bagi orang-orang yang melewati miqat-miqat tersebut dari selain penghuni negeri-negeri tersebut bagi orang yang hendak melaksanakan haji dan umrah”

Sabda Nabi ini menunjukkan bahwasanya miqat-miqat ini meliputi seluruh sisi-sisi Mekkah baik arah utara, timur, selatan maupun barat. Sehingga Nabi menyatakan “dan demikian pula bagi orang-orang yang melewati miqat-miqat tersebut dari selain penghuni negeri-negeri tersebut”.

Maka siapaun yang masuk ke Mekah pasti melewati salah satu dari miqot-miqot tersebut atau yang sejajar dengannya.

▪Jika melewati arah utara, mereka pasti melewati Madīnah.

▪Jika melewati timur Mekkah pasti mereka akan bertemu dengan Qarn Al-Manazil

▪Jika melewati selatan kota Mekkah maka akan bertemu dengan Yalamlam

▪Jika lewat barat laut mereka akan bertemu dengan al-Juhfah.

Siapa saja yang menuju ke Mekkah pasti melewati titik-titik tersebut sehingga mereka pasti melewati miqat atau yang sejajar dengan miqat.

 

Kecuali yang datang dari arah barat -baik melalui lautan atau udara- masuk ke arah Jeddah, maka disini ada perselisihan diantara para ulama, apakah orang tersebut memungkinkannya untuk bisa melakukan muhaadzaat (sejajar dengan miqot yang terdekat) atau tidak mungkin?.

Pertama : Sebagian ulama memandang bahwa orang tersebut tidak mungkin untuk melakukan muhaadzaat.

Ini pendapat Ibnu Hajar al-Haitami. Tatkala al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

وَإِنْ لَمْ يُحَاذِ أَحْرَمَ عَلَى مَرْحَلَتَيْنِ مِنْ مَكَّةَ

“Jika ia tidak mensejajari (miqot manapun-pen) maka ia berihrom dari jarak 2 marhalah dari Mekah” (Minhaaj At-Thoolibiin hal 84).

Ibnu Hajar Al-Haitami mengomentari perkataan An-Nawawi ini dengan berkata :

لِأَنَّهُ لَا مِيقَاتَ دُونَهُمَا … أَنَّ الْإِحْرَامَ مِنْ الْمَرْحَلَتَيْنِ هُنَا بَدَلٌ عَنْ أَقْرَبِ مِيقَاتٍ إلَى مَكَّةَ وَأَقْرَبُ مِيقَاتٍ إلَيْهَا عَلَى مَرْحَلَتَيْنِ مِنْهَا

“Karena tidak ada miqot yang jaraknya lebih dekat dari 2 marhalah…sesungguhnya ihrom dari jarak 2 marhalah di sini sebagai pengganti dari miqot terdekat ke Mekah, dan jarak miqot terdekat ke Mekah adalah 2 marhalah (yaitu Qorn al-Mnaazil -pen)”(Tuhfatul Muhtaaj 4/42)

Sehingga Ibnu Hajar berkesimpulan bahwa Jeddah adalah miqot bagi orang-orang yang datang dari Sawakin melalui lautan, karena mereka telah sampai ke Jeddah sebelum muhadzaat (sejajar) dengan Robigh atau Yalamlam. Beliau berkata :

يُتَصَوَّرُ بِالْجَائِي مِنْ سَوَاكِن إلَى جِدَّةَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمُرَّ بِرَابِغٍ وَلَا بِيَلَمْلَمَ؛ لِأَنَّهُمَا حِينَئِذٍ أَمَامَهُ فَيَصِلُ جِدَّةَ قَبْلَ مُحَاذَاتِهِمَا، وَهِيَ عَلَى مَرْحَلَتَيْنِ مِنْ مَكَّةَ فَتَكُونُ هِيَ مِيقَاتَهُ

“Bisa dibayangkan seseorang yang datang dari Sawakin (suatu kota di Sudan) menuju Jeddah tanpa melewati Rabigh (al-Juhfah) dan Yalamlam, karena keduanya di hadapannya. Maka ia sampai di Jedah sebelum sejajar dengan keduanya (Rabigh dan Yalamlam), dan jarak Jedak ke Mekah adalah 2 marhalah, maka Jeddah menjadi miqot baginya” (Tuhfatul Muhtaaj 4/42)

Pendapat Ibnu Hajar al-Haitami ini juga persis yang dipilih oleh Al-Buhuti dari madzhab Hanbali (lihat Daqooiq Ulin Nuhaa li syarh Muntahaa al-Irodaat 1/525).

Kedua : Namun sebagian ulama -seperti Ibnu ‘Abidin al-Hanafi- memandang bahwa kondisi seseorang untuk tidak mensejajari satu miqotpun tidaklah mungkin, hal ini dikarenakan miqot-miqot yang telah ditentukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meliputi seluruh arah ke Mekah, jadi barang siapa yang hendak ke Mekah pasti melewati miqot-miqot tersebut atau sejajar dengan miqot-miqot tersebut. Menurut beliau seseorang boleh berihrom dari jarak 2 marhalah dari Mekah jika ia tidak tahu apakah dia telah mensejajari salah satu miqot atau tidak, meskipun pada hakikatnya dia pasti mesejajari salah satu miqot.

Beliau berkata :

(قَوْلُهُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ إلَخْ) كَذَا فِي الْفَتْحِ لَكِنَّ الْأَصْوَبَ قَوْلُ اللُّبَابِ، فَإِنْ لَمْ يَعْلَمْ الْمُحَاذَاةَ لِمَا قَالَ شَارِحُهُ أَنَّهُ لَا يُتَصَوَّرُ عَدَمُ الْمُحَاذَاةِ اهـ أَيْ لِأَنَّ الْمَوَاقِيتَ تَعُمُّ جِهَاتِ مَكَّةَ كُلِّهَا فَلَا بُدَّ مِنْ مُحَاذَاةِ أَحَدِهَا (قَوْلُهُ فَعَلَى مَرْحَلَتَيْنِ)

 

“Perkataannya :(Jika ia tidak bersejajar dengan miqot) -demikiannya ibarat yang terdapat dalam kitab al-Fath-, akan tetapi yang lebih benar adalah perkataan al-Lubaab : (Jika ia tidak mengetahui sejajar dengan miqot) karena pensyarah buku tersebut berkata, (Tidaklah mungkin tergambarkan tidak adanya kesejajaran dengan miqot). Yaitu karena miqot-miqot meliputi seluruh sisi Mekah, maka pasti adanya kesejajaran dengan salah satu dari miqot-miqot tersebut” (Rodd Al-Muhtaar ‘ala ad-Dur al-Mukhtaar 2/476)

Adapun ulama Malikiyah maka dengan tegas mereka menyatakan bahwa Jeedah bukanlah miqot. Asy-Syaikh Ad-Dirdir berkata

(وَلَوْ) كَانَ الْمُحَاذِي (بِبَحْرٍ) كَالْمُسَافِرِ مِنْ جِهَةِ مِصْرَ بِبَحْرِ السُّوَيْسِ؛ فَإِنَّهُ يُحَاذِي الْجُحْفَةَ قَبْلَ وُصُولِهِ جُدَّةَ فَيُحْرِمُ فِي الْبَحْرِ حِينَ الْمُحَاذَاةِ

“Meksipun jamaah (haji/umroh) yang bersejajar (dengan miqot) berada di lautan. Seperti orang yang safar dari arah Mesir melalui laut As-Suwais, maka ia akan bersejajar dengan al-Juhfah sebelum sampai ke Jeddah, maka ia berihroh di laut tatkala sejajar (dengan al-Juhfah)” (Haasyiat As-Showi ‘ala Asy-Syarh As-Shogiir 2/23)

 

          Pendapat yang lebih kuat adalah pendapat yang kedua, karena sumber pemasalahan adalah apakah yang dimaksud dengan “muhaadzaat”?. Jika yang dimaksud dengan muhaadzaat (sejajar) adalah seseorang berada diantara garis lurus antara dua miqot, maka memang benar bahwasanya seseorang yang datang dari arah barat Mekah akan sampai ke jeddah sebelum bermuhaadzaat dengan al-Juhfah dan Yalamlam.

Akan tetapi makna “al-muhaadzaat” (sejajar) bukanlah demikian.

ومن حاذي ميقاتا فميقاته عند المحاذاة؛ إذ المقصود مقدار البعد عن مكة

“Barang siapa yang sejajar dengan miqot maka miqotnya adalah tatkala sejajar, karena maksud dari sejajar adalah ukuran jarak dari Mekah” (‘Aqdu al-Jawaahir ats-Tsamiinah fi Madzhab ‘Aalim Al-Madinah, karya Jalaaluddin ibnu Syaas Al-Maaliki, wafat 616 H)

Ibnul al-Mandzuur berkata :

ذَاتُ عِرْقٍ حَذْوَ قَرْنٍ… وذاتُ عِرْق مِيقاتُ أَهل الْعِرَاقِ، وقَرَنٌ ميقاتُ أَهل نَجْدٍ، وَمَسَافَتُهُمَا مِنَ الْحَرَمِ سَوَاءٌ

“Dzaatu ‘Irq sejajar dengan Qorn (al-Manaazil)….dan Dzaatu ‘Irq adalah miqotnya penduduk Iraq, dan Qorn (al-Manaazil) adalah miqotnya penduduk Nejd, dan jarak keduanya dari haram (Mekah) adalah sama” (Lisaanul ‘Arob 14/170)

 

 

Coba kita perhatikan Dzātu ‘Irq !. Dzātu ‘Irq adalah miqat yang ditentukan oleh ‘Umar bin Khathab radhiyallāhu Ta’āla ‘anhu bagi penduduk Iraq,  karena penduduk Iraq tidak ingin melewati Qarn Al Manazil (As-Sail Al-Kabiir), maka ‘Umar membuat miqat untuk mereka yang sejajar dengan Qarn Al-Manazil.

Seandainya cara mengetahui maksud sejajar dengan miqat adalah dengan cara menarik garis lurus dari satu titik miqat ke titik miqat yang lainnya, maka tatkala kita tarik garis lurus dari Dzulhulaifah menuju Qarn Al-Manazil (as-Sail al-Kabir) maka kita tahu bahwa Dzātu ‘Irq jaraknya terlalu jauh lebih. Tapi ternyata bukan demikian caranya.

Tapi ternyata cara ‘Umar menentukan miqat bukan dengan menarik garis lurus dari satu titik ke titik yang lainnya akan tetapi dengan cara mensejajarkan.  Sejajar disini maksudnya, jarak dari Mekkah ke Qarn Al Manazil (as-Sail al-Kabiir) berapa km? Maka demikian pula sejauh itulah kira-kira jarak Dzātu ‘Irq ke Mekkah.

Demikian juga seandainya makna muhaadzaat adalah menarik garis lurus antara dua miqot, maka seharusnya Jeddah masih jauh sebelum kesejajaran miqot (sababagimana bisa dilihat di peta)

Dari sini kita ketahui bahwasanya pernyataan bahwasanya para ulama telah ijmak  : “Barangsiapa yang masuk kota Mekkah tidak melewati miqat atau tempat yang sejajar dengan miqat maka mereka cukup berihram dari jarak 2 marhalah dari kota Mekkah”, maksudnya adalah jika seseorang tidak bermuhaadzaat dengan satu miqot-pun, atau dia dalam kondisi tidak mengetahui bahwasanya telah bermuhaadzaat.

Maka jika kita berbicara tentang penduduk Sawakin di Sudan yang masuk ke Mekah melewati lautan dan melewati Jeddah, maka menurut pendapat pertama mereka boleh menjadikan Jeddah sebagai miqot, karena mereka tidak bersejajar dengan miqot.

Namun menurut pendapat kedua -dan yang ini lebih kuat- mereka tetap tidak boleh bermiqot di Jeddah tapi harus melakukan muhaadzaat, yaitu bermuhaadzaat dengan Yalamlam sekitar 130 km atau bermuhaadzaat dengan al-Juhfah sekitar 157 km, dan kedua jarak ini berarti sebelum mereka sampai ke Jeddah yang jarak bandaranya ke Mekah sekitar 110 km. Pendapat inilah yang merupakan qoror (ketetapan) Al-Majma’ al-Fiqhi al-Islami pada tahun 1402 H (qoror No. 2, dauroh No. 5)

Nama Tempat

Jaraknya ke Mekah

Bandara Jeddah

110 km

Dzulhulaifah (Bir Ali)

480 km

Al-Juhfah

157 km

Qarn al-Manaazil (as-Sail al-Kabiir)

79 km

Dzaatu ‘Irq

100 km

Yalamlam

130 km

Peringatan :

Pembahasan para ulama madhzab (Al-Hanafiyah, as-Syafi’iyyah, dan al-Hanabilah) adalah tentang orang yang tidak melewati miqot dan tidak sejajar dengan miqot sama sekali, maka ia boleh berihrom dengan jarak 2 marhalah (sekitar 80 km) dari Mekah. Adapun orang yang melewati miqot atau yang sejajar dengan miqot maka ini diluar pembahasan mereka. Karena para ulama telah sepakat bahwa yang melewati miqot atau yang sejajar dengan miqot maka harus berihrom dari tempat tersebut.

Dengan demikian para ulama tersebut tidak menjadikan Jeddah sebagai miqot bagi jamaah haji/umroh yang datang dari arah manapun. Akan tetapi hanya membatasi bagi mereka yang datang dari arah barat Mekah (yaitu dari arah kota Sawakin di Sudan).

Karenanya sebagian ulama  kontemporer dengan tegas membolehkan Jeddah sebagai miqot khusus hanya untuk orang-orang yang datang dari kota Sawakin di Sudan (yaitu dari arah barat), karena mereka tidak bersejajar dengan miqot Yalamlam dan miqot al-Juhfah. Adapun jika mereka datang dari Sudan namun dari arah selatan atau utara Jeddah maka harus berihrom sebelum Jeddah. Sebagaimana pernyataan Asy-Syaik Bin Baaz (silahkan lihat http://www.binbaz.org.sa/noor/4360) dan Asy-Syaikh Al-‘Utsaimin http://binothaimeen.net/content/9657).

Akan tetapi pendapat inipun dibangun di atas gambaran bahwa penduduk kota Sawakin tidak akan bersejajar dengan miqot, artinya mereka akan sampai ke Jeddah sebelum bersejajar dengan miqot Yalamlam atau al-Juhfah. Namun -sebagaimana telah lalu- bahwasanya pendapat yang benar adalah penduduk Sawakin juga harus berihrom sebelum sampai di Jeddah, karena jarak Jeddah-Mekah lebih dekat daripada jarak Yalamlam-Mekah dan al-Juhfah-Mekah, sebagaiamana yang telah ditetapkan oleh Al-Majma’ al-Fiqhi al-Isalami.

 

KESIMPULAN

Para jamaah haji atau Umroh Indonesia yang mendarat di Jeddah  maka mereka masuk ke Mekah dari arah selatan atau timur kota Mekah. Maka mereka pasti akan melewati Yalamlam atau Qorn al-Manazil atau yang sejajar dengan keduanya. Dengan demikian mereka tidak boleh mengakhirkan ihrom di bandara King Abdul Aziz di Jeddah, akan tetapi mereka berihram di atas pesawat menjelang mendarat di Jeddah.

Dari sini maka apa yang dilakukan oleh sebagian jama’ah haji tatkala bermiqat di Jeddah adalah sikap yang keliru dan menyelisihi pendapat para ulama madzhab termasuk para ulama syafi’iyyah. Karena maksud pernyataan Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i rahimahullah yang menyatakan Jeddah sebagai miqot adalah khusus bagi mereka yang tidak melewati miqot. Maka menjadikan perkataan Ibnu Hajar al-Haitami sebagai dalil untuk menjadikan Jeddah sebagai miqot bagi jamaah haji/umroh Indonesia adalah kesalahan, karena jamaah haji/umroh Indonesia pasti melewati miqot yaitu Yalamlam atau Qorn al-Manaazil atau yang sejajar dengannya. Wallāhu Ta’āla A’lam bish Shawab

 

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/1786-apakah-jeddah-miqot-bagi-jamaah-haji-umroh-indonesia.html